Terdakwa kontraktor pekerjaan teknis pengolahan limbah minyak mentah
secara bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia, yang juga
Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo, dituntut pidana penjara 15
tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Selain itu,
Herlan juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara 6,9
juta dollar AS.
Demikian pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan
Agung yang diketuai jaksa Surma di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, pada Jumat (26/4/2013). Jika terdakwa tak bisa memenuhi
pembayaran uang pengganti kerugian negara, jaksa akan menyita harta
terdakwa dan jika tak mencukupi juga, maka akan diganti dengan pidana
penjara 5 tahun.
Jaksa memaparkan, Herlan terbukti bersalah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer yang melanggar Pasal 2 Ayat
(1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU
No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal
65 Ayat (1) KUHPidana.
PT SGJ dianggap tidak memiliki izin pengolahan bioremediasi yang
terjadi pada rentang tahun 2008 - 2012 dan tak memenuhi kualifikasi
sebagai kontraktor pekerjaan sipil bersifat khusus. "PT SGJ bukan
perusahaan pengolah limbah melainkan perusahaan yang bergerak di
bidang konstruksi," kata jaksa Surma.
Seharusnya, pada prakualifikasi lelang, perusahaan tersebut digugurkan
namun oleh panitia diloloskan hingga menjadi pemenang. "Persyaratan
kualifikasi harus merupakan persyaratan minimal. PT Sumigita Jaya tak
memenuhi persyaratan khusus tersebut," kata jaksa.
Salah satu kualifikasi yang tak dimiliki misalnya, laboratorium yang
digunakan untuk pengujian tanah tercemar. Terdakwa hanya menyerahkan
pengujian sampel tanah tercemar ke pihak lain yang memiliki
laboratorium, yaitu Chevron.
Itupun, kata jaksa, hanya pengujian TPH (Total Petroleum Hydrocarbon),
tanpa uji lain terkait bakteri pendegredasi minyak. Kemudian jaksa
mengutip pernyataan ahli bioremediasi Edison Effendi yaitu tanpa uji
lain, misal soal jumlah dan jenis bakteri tanah, mustahil bioremediasi
berhasil dengan baik.
Mendengar nama Edison Effendi, para pengunjung berteriak "huuuuu",
yang maksudnya adalah mencela kredibilitas ahli Edison. Edison adalah
orang yang pernah mengikuti lelang di Chevron dan kalah, yang kemudian
melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung dan akhirnya dijadikan sebagai
ahli untuk penyusunan dakwaan sekaligus dihadirkan sebagai ahli di
persidangan.
"Pengunjung tidak boleh gaduh, apabila tetap gaduh akan dikeluarkan
dari persisangan," kata Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih.
Selain tak memenuhi kualifikasi, Herlan juga sadar tak memiliki izin
pengolahan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup. "PT SGJ juga
wajib punya izin dari Kementerian Lingkungan Hidup, tak hanya
bergantung pada izin PT CPI," kata jaksa.
Izin pengolahan bioremediasi PT CPI juga sudah habis berlaku hingga
2008. "PT SGJ dan CPI sama-sama tak memiliki izin dari KLH," kata
jaksa.
Hal tersebut bertentangan dengan Keputusan Menteri Nomor 128 Tahun 2003.
Kerugian negara akibat kegiatan bioremediasi ini mencapai 6,9 juta
dollar AS. Uang tersebut menurut jaksa sudah diajukan PT CPI ke BP
Migas sebagai dana cost recovery. "Total kerugian 10,2 juta dollar AS,
dari jumlah itu yang dibayarkan ke PT SGJ 6,9 juta dollar AS," kata
jaksa.
Kasus bioremediasi ini menyeret dua orang dari pihak kontraktor dan
tiga orang dari pihak PT CPI. Kejaksaan Agung dianggap memaksakan
perkara ini masuk ke ranah pidana korupsi karena berdasarkan
keterangan saksi dari KLH, izin bioremediasi Chevron tak menyalahi
aturan yang ada.
"KLH tak mewajibkan pihak ketiga punya izin, kita melihat Chevron-nya.
Dalam PP sudah jelas yang wajib punya izin adalah penghasil limbah,"
kata Masnellyarti Hilman, Kepala Deputi IV KLH. Ketentuan tersebut
berdasarkan Peraturan Pemerintah No18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah B3 juncto PP No 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP No 18
Tahun 1999. (Amir Sodikin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar