Ini kabar tak mengenakkan bagi terdakwa. Bagi para terdakwa, jika
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
nanti bisa disetujui, harus benar-benar hati-hati agar tidak berbohong
dalam persidangan. Soalnya, dalam rancangan tersebut, jika hakim
dengan pengamatannya menganggap terdakwa berbohong, maka sudah
bertambah satu alat buktinya yang pasti akan memberatkan terdakwa.
Selama ini, para terdakwa seolah berlindung di balik haknya sebagai
terdakwa untuk membela diri dengan berbagai cara, salah satunya sering
berbohong asalkan tak ada alat bukti yang bertentangan dengan
kebohongannya. Banyak kasus, hakim-hakim yang menggunakan kacamata
hukum positif semata, gagal membuktikan dakwaan penuntut umum
gara-gara alat buktinya dirasa kurang.
Dalan rangancangan KUHAP, pengamatan hakim terhadap terdakwa bisa
menjadi alat bukti yang sah dan melengkapi alat bukti lainnya. Jika
KUHAP yang sekarang ada lima alat bukti, dalam RUU KUHAP disebutkan
ada tujuh alat bukti.
Demikian yang disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas
Trisakti yang juga Ketua Tim Perumus RUU KUHAP, Prof Andi Hamzah,
dalam Simposium Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi
Indonesian (MAHUPIKI) di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang
berlangsung tiga hari hingga hari ini, Rabu (20/3). Sekadar
mengingatkan, dalam KUHAP sekarang, alat bukti yang sah berasal dari
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.
Sedangkan dalam RUU KUHAP, alat bukti berupa petunjuk dihilangkan.
Selengkapnya rancangan yang diajukan untuk jenis alat bukti yaitu
barang bukti, surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli,
keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim.
"Petunjuk dihilangkan diganti dengan pengamatan hakim," kata Andi yang
selama berpuluh-puluh tahun telah menjadi Ketua Tim Perumus RUU KUHAP
dan pernah studi banding KUHAP ke 11 negara lain. Konsep pengakuan
pengamatan hakim sebagai alat bukti itu sama dengan KUHAP negara lain.
"Pengamatan hakim itu misalnya, jika menganggap terdakwa bohong dengan
melihat tanda-tanda jakunnya naik turun, atau keringatan atau melihat
sana-sini," kata Andi. Jika hakim dengan pengamatannya menganggap
terdakwa berbohong, maka itu sudah bisa menjadi satu alat bukti.
"Pengamatan hakim disebut oleh Belanda eigen waarneming van de
rechter, bahasa Inggrisnya judicial notice," kata Andi. Tidak ada
KUHAP di dunia ini yang menyebut petunjuk (aanwijzing dalam Bahasa
Belanda, indication dalam Bahasa Inggris) sebagai alat bukti kecuali
Strafvordering Belanda tahun 1838, Inlandsch Regelement, HIR dan KUHAP
1981, karena meniru HIR.
Undang-Undang Mahkamah Agung tahun 1950 sudah menyebut "pengetahuan
hakim" sebagai alat bukti menggantikan petunjuk, sayangnya, kata
Andi, penyusun KUHAP waktu itu tidak mengetahui hal tersebut.
Dalam rancangan KUHAP, dipakai istilah keterangan seorang saksi dan
keterangan seorang ahli sebagai alat bukti yang menyatakan sifat
tunggal. Berarti, jika sudah ada dua saksi atau dua ahli, maka sudah
cukup memenuhi. Sebaliknya pada alat bukti surat, dipakai istilah
surat-surat yang bersifat jamak. Karena itu, jika ada 10 surat, tetap
dihitung satu alat bukti.
Urutan alat bukti tersebut tak berdasar prioritas. Namun, keterangan
saksi sengaja diturunkan dari daftar pertama karena untuk menghapus
kesan seolah-olah orang tak bisa dihukum jika tak ada saksi. Dengan
daftar jenis alat bukti yang bertambah, maka penetapan seseorang
menjadi tersangka akan lebih mudah. (AMR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar